Entri Populer

Jumat, 10 Juni 2011

Pemanenan Hasil Hutan di Rawa Gambut Indonesia

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tuntutan terhadap hutan alam di Indonesia untuk menyediakan berbagai barang dan jasa mengalami peningkatan. Banyak faktor eksternal yang mempengarui bagaimana hutan hutan dikelola, termasuk perubahan demografi, perubahan persyaratan penggunaan lahan, kekeringan, dan kebakaran. Perhatian terhadap hutan hutan Indonesia dan kapasitasnya untuk mempertahankan niai nilai lingkungan sambil menghasilkan kayu dan hasil hutan non kayu secara terus menerus menjadi sangat penting menyusul terjadinya perubahan iklim akibat pemanasan global yang terjadi baru baru ini. Untuk itu,kegiatan pemanfaatan hutan perlu dilakukan secara optimal dengan tetap menerapkan prinsip-prinsip kelestarian. Kegiatan pemanfaatan hutan tersebut tidak terlepas dari kegiatan pemanenan hasil hutan, salah satunya teknik dan produktivitas pemanenan kayu di hutan rawa.

Potensi hutan rawa di Indonesia diperkirakan masih besar. Tim Indonesian Forestry menyatakan bahwa arel hutan rawa di Indonesia masih ada sekitar 32 % dari pada areal pengusahaan hutan (HPH) di daerah datar dan bergelombang yang belum dipanen atau ekuivalen dengan luas 6,2 juta ha. Hutan ini dapat menghasilkan 30 m3/ha kayu bulat jenis komersil dengan pemanenan sistem tebang pilih. Potensi hutan rawa yng besar ini perlu dimanfaatkan secara optimal dan efisien dengan menerapkan prinsip-prinsip kelestarian. Dalam kegiatan pemanfaatan hutan rawa ini, tidak terlepas pada kegiatan pemanenan hasil hutan.

Pemanenan hasil hutan dapat pula diartikan sebagai serangakaian kegiatan yang dimaksudkan untuk memindahkan kayu dari hutan ke tempat penggunaan atau pengolahan. Kegiatan ini dibedakan atas empat komponen utama, yaitu : 1. Penebangan, yaitu mempersiapkan kayu seperti menebang pohon dan memotong kayu sebelum kayu disarad jika dianggap perlu. 2. Penyaradan, yaitu usaha untuk memindahkan kayu dari tempat penebangan ke tepi jalan angkutan. 3. Pengangkutan, yaitu usaha mengangkut kayu dari hutan ke tempat penimbunan atau pengolahan. 4. Penimbunan, yaitu usaha untuk menyimpan kayu dalam keadaan baik sebelum digunakan tau dipasarkan, dalam kegiatan ini termasuk pemotongan ujung-ujung kayu yang pecah atau kurang rata sebelum ditimbun.

Pemilihan sistem pemanenan kayu yang baik harus dilakukan guna mencapai tujuan produktivitas dan efisiensi tinggi dengan mempertimbangkan aspek teknis dan ekonomis. Produktivitas suatu sistem pemanenan kayu sangat berpengaruh terhadap kemampuan pencapaian target yang telah ditentukan dalam jangka waktu tertentu, sedangkan efisiensi pemanenan kayu berpengaruh terhadap kontinyuitas produksi kayu.

B. Tujuan

1. Dapat mengetahui definisi dari hutan rawa.

2. Mengetahui sistem pemanenan kayu di hutan rawa berdasarkan sumber energi yang dikeluarkan dengan menggunakan sistem manual (sistem kuda-kuda).

3. Mengetahui tahapan pemanenan kayu di hutan rawa.

4. Mengetahui produktivitas pemanenan kayu di hutan rawa

C. Definisi Judul

Judul yang diambil dalam pembuatan makalah ini yaitu “ Teknik dan Produktivitas Pemanenan Kayu di Hutan Rawa Indonesia”. Judul tersebut didasari oleh tujuan penulis untuk membahas teknik dan produktivitas pemanenan kayu pada hutan rawa yang berada di Indonesia secara keseluruhan.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Indonesia adalah negara dengan hutan rawa-gambut tropis terluas di dunia dimana Indonesia memiliki 38 juta hektar hutan rawa-gambut tropis (Departemen Kehutanan 1997). Pengusahaan hutan produksi pada ekosistem hutan rawa gambut telah lama dilaksanakan sejak tahun 1970-an dan mulai intensif atau secara besar-besaran sejak tahun 1980-an, ketika produksi kayu dari hutan hujan dataran rendah mulai mengalami penurunan.

Tipe hutan rawa dapat dijumpai pada daerah-daerah yang selalu tergenang air, tidak terpengaruh oleh iklim. Pada umumnya terletak di belakang hutan payau dengan jenis tanah alluvial. Tegakan hutan selalu hijau dengan pohon yang mencapai 40 m dan terdiri atas banyak lapisan tajuk. Hutan rawa dapat menghasilkan 30 m3/ha kayu bulat jenis komersil dengan pemanenan sistem tebang pilih. Potensi hutan rawa yng besar ini perlu dimanfaatkan secara optimal dan efisien dengan menerapkan prinsip-prinsip kelestarian. Dalam kegiatan pemanfaatan hutan rawa ini, tidak terlepas pada kegiatan pemanenan hasil hutan. Pemanenan hasil hutan dapat pula diartikan sebagai serangkaian kegiatan yang dimaksudkan untuk memindahkan kayu dari hutan ke tempat penggunaan atau pengolahan (Conway 1978).

Kegiatan pemanenan juga perlu dilaksanakan dengan memperhatikan aspek ekonomi, ekologi dan sosial dengan tujuan untuk mengoptimalkan nilai hutan, menjaga pasokan untuk industri stabil, meningkatkan peluang kerja, meningkatkan ekonomi local dan regional. Kegiatan ini dibedakan atas empat komponen utama, yaitu :

1. Penebangan, yaitu mempersiapkan kayu seperti menebang pohon dan memotong kayu sebelum kayu disarad jika dianggap perlu.

2. Penyaradan, yaitu usaha untuk memindahkan kayu dari tempat penebangan ke tepi jalan angkutan.

3. Pengangkutan, yaitu usaha mengangkut kayu dari hutan ke tempat penimbunan atau pengolahan.

4. Penimbunan, yaitu usaha untuk menyimpan kayu dalam keadaan baik sebelum digunakan tau dipasarkan, dalam kegiatan ini termasuk pemotongan ujung-ujung kayu yang pecah atau kurang rata sebelum ditimbun.

Penyaradan merupakan tahap pertama dari pengangkutan kayu, yang dimulai pada saat kayu diikatkan pada rantai penyarad di tempat tebangan kemudian disarad ke tempat tujuan (TPn/landing, tepi sungai, tepi jalan rel atau jalan rel) dan berakhir setelah kayu dilepaskan dari rantai penyarad (Elias 1988).

Cara penyaradan yang dilakukan saat ini (Elias 1988) :

1. Pemikulan dan penarikan kayu oleh manusia.

2. Penyaradan dengan bantuan binatang.

3. Penyaradan dengan traktor.

4. Penyaradan dengan gaya gravitasi bumi.

5. Penyaradan dengan kabel.

6. Penyaradan dengan balon.

7. Penyaradan dengan pesawat udara (helikopter).

Faktor-faktor yang mempengaruhi cara penyaradan adalah jatah tebang tahunan, volume kayu, topografi, iklim, pertimbngan silvikultur, jarak sarad, ukuran dan sifat kayu yang disarad (FAO 1974).

Hutan rawa termasuk dalam kategori hutan tropika basah. Menurut Suparto (1979), jenis dan urutan kegiatan dalam pemanenan kayu untuk kondisi hutan tropika basah adalah :

A. Perencanaan pemanenan

Perencanaan pemanenan kayu merupakan salah satu bagian dari keseluruhan rencana manajemen hutan, dimana perencanaan pemanenan itu sendiri merupakan komponen dari rencana penggunaan lahan secara komprehensif. Kegiatan pada tahap ini antara lain: perpetaan, survey, rencana pemanenan, pemetaan.

B. Pembukaan Wilayah Hutan (PWH)

Pembukaan wilayah hutan merupakan kegiatan yang merencanakan dan membuat sarana dan prasarana yang diperlukan dalam rangka mengeluarkan kayu. Prasarana tersebut meliputi perencana sumbu jalan (trase), base camp, jembatan, gorong-gorong dll. Kegiatan dari tahap ini adalah: perencanaan sumbu jalan (trase), pembuatan jalan dan prasarana lainnya.

C. Pemanenan

Kegiatan tahap ini antara lain: persiapan tebangan, penebangan, pemangkasan, pengukuran, pembagian batang.

D. Penyaradan

Kegiatannya adalah pemasangan choker, penyaradan.

E. Pengumpulan kayu

Pada tahap ini dikenal istilah cold deck dan hot deck. Cold deck berarti kayu yang sampai di tempat pengumpulan langsung ditangani/diproses secara keseluruhan pada saat itu juga, sedangkan pada hot deck kayu yang sampai di tempat pengumpulan tidak ditangani (diproses) secara menyeluruh pada saat itu juga.

F. Angkutan antara: pengangkutan kayu pada tahap ini dapat dilakukan melalui darat atau melalui air ke tempat penimbunan antara.

G. Penimbunan antara: pembongkaran, pengukuran, pengujian, pemotongan, pengaturan, pemuatan.

H. Pengangkutan akhir

Pengangkutan akhir dapat dilakukan dengan beberapa variasi cara pengangkutan, yaitu :

- Dari darat diteruskan dengan pengangkutan melalui darat

- Dari darat diteruskan dengan pengangkutan melalui air

- Dari air diteruskan dengan pengangkutan melalui air

I. Penimbunan akhir

Kegiatan yang dilakukan di tempat penimbunan akhir adalah sebagai berikut; pembongkaran, pengukuran, pengujian, pemotongan, penumpukan, pemuatan ke alat angkut umum atau pabrik pengolahan kayu.

Sistem silvikultur adalah rangkaian kegiatan berencana mengenai pengelolaan hutan yang meliputi penebangan, peremajaan dan pemeliharaan tegakan hutan guna menjamin kelestarian produksi kayu atau hasil hutan lainnya (Dirjen PH 1989). Sistem silvikultur yang diberlakukan untuk hutan rawa gambut alam adalah sistem tebang pilih, yaitu hanya menebang pohon komersial dengan batas diameter tertentu dengan meninggalkan pohon inti untuk rotasi tebang berikutnya. Mula-mula digunakan Sistem Silvikultur Tebang Pilih Indonesia (TPI) tahun 1972. Tahun 1989 diubah menjadi Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI) dan tahun 1996 dilakukan perubahan terhadap batas diameter tebangan dan rotasi tebang. Jika pada TPTI 1989 batas diameter tebangan untuk ramin ≥ 35 cm sedangkan jenis komersial non ramin ≥ 50 cm dengan rotasi tebang 35 tahun maka pada tahun 1996 diubah batas diameter tebangan disamakan menjadi ≥ 40 cm dengan rotasi tebang 40 tahun.

Menurut Keputusan Direktur Jenderal Pengusaha Hutan Nomor: 564/Kpts/IVBPHH/ 1989, penebangan hutan ramin campuran menggunakan batas diameter pohon yang di tebang untuk jenis ramin ≥ 35 cm dan keatas, sedangkan untuk jenis nonramin ≥ 50 cm, batas diameter pohon inti ramin 15 - 34 cm dan non ramin 20 - 49 cm, jumlah pohon inti per ha minimal 25 pohon dan rotasi tebang 35 tahun. Ketentuan ini mengakibatkan penebangan ramin seperti tebang habis. Penebangan ramin terjadi secara berlebihan, apalagi tidak adanya ketentuan proporsi tebangan ramin dan non ramin. Akibatnya potensi dan populasi ramin sebelum penebangan berlimpah namun setelah penebangan sulit sekali menemukan pohon inti dan permudaan ramin. Di samping itu tidak adanya penanaman kembali atau tanaman perkayaan ramin dengan alasan sulit tumbuh menambah menurunnya potensi dan populasi ramin setelah penebangan.

Produktivitas merupakan perbandingan atau rasio antara output dengan input. Dalam ilmu ekonomi, produktivitas merupakan nisbah atau rasio antara hasil kegiatan (output) dan segala pengorbanan (biaya) untuk mewujudkan hasil tersebut (input). Banyak istilah produktivitas, tetapi yang paling sesuai untuk produktivitas adalah produktivitas tenaga kerja karena tenaga kerja memerlukan pengorbanan (biaya) terbesar dalam suatu proses produksi barang dan jasa serta perhitungan produktivitas dengan tenaga kerja sebagai input lebih mudah di hitung dari pada perhitungan input lainnya seperti misalnya modal.produktivitas akan meningkat bila :

· Volume produksi bertambah besar tanpa mengubah sumber daya atau berkurang

· Volume tetap namun jumlah sumber daya berkurang

· Volume sumber daya bertambah tapi, volume produksi berlipat ganda

Kussriyanto 1993 mengatakan bahwa mempertinggi tingkat produktivitas pemanenan dapat dilakukan dengan memperbaiki system tenaga kerja yang dapat dilakukan dengan empat hal yakni :

· Menghilangkan praktek kerja tidak produktif

· Menyempurnakan metode kerja

· Menyempurnakan manajemen personalia

BAB III

PEMBAHASAN

Hutan Rawa adalah lahan darat yang tergenang se­cara periodik atau terus menerus secara alami dalam waktu lama karena drainase (sistem pengairan air) terhambat. Meskipun dalam keadaan tergenang la­han ini tetap ditumbuhi oleh tumbuhan. Lahan ini dapat dibedakan dari danau/tasik, karena danau ter­genang sepanjang tahun, genangannya lebih dalam dan tidak ditumbuhi oleh tanaman kecuali tumbuhan air. Genangan lahan rawa dapat disebabkan oleh pa­sangnya air laut, genangan air hujan, atau luapan air sungai.

Berdasaran penyebab genangannya, lahan rawa diba­gi menjadi tiga, yaitu rawa pasang surut, rawa lebak (rawa non pasang surut) dan rawak lebak peralihan.

a) Rawa pasang surut

Rawa pasang surut merupakan lahan rawa yang genangannya dipengaruhi oleh pasang surutnya air laut. Tingginya air pasang dibedakan menjadi dua, yai­tu pasang besar dan pasang kecil. Pasng kecil, terjadi secara harian (1-2 kali sehari).

b) Rawa lebak

Rawa lebak adalah lahan rawa yang genangannya terjadi karena luapan air sungai dan atau air hu­jan di daerah cekungan pedalaman. Genangannya umumnya terjadi pada musim hujan dan menyu­sut pada musim kemarau

c) Rawa lebak peralihan

Lahan rawa lebak yang pasang surutnya air laut masih terasa di saluran primer atau di sungai. Pada lahan sperti ini, endapan laut dicirikan oleh adanya lapisan pirit, biasanya terdapat pada ke­dalaman 80 - 120 cm dibawah permukaan tanah.

Lahan Rawa Potensial dan Sulfat Masam:

1. lahan rawa potensial.

Lahan rawa yang tidak memiliki lapisan tanah gam­but dan tidak memiliki lapisan pirit atau memiliki lapisan pirit pada kedalaman lebih dari 50 cm Lahan ini merupakan rawa pal­ing subur dan potensial untuk pertanian. Lahan ini di­dominasi oleh tanah aluvial hasil pengendapan oleh air hujan, air sungai, dan air laut.

2. lahan aluvial bersulfida dangkal atau lahan sulfat masam potensial.

Lahan rawa yang tidak memiliki lapisan tanah gambut dan tidak memiliki lapisan pirit atau memiliki lapisan pirit pada kedalaman kurang dari 50 cm

3. la­han aluvial bersulfida gambut.

Apabila lahan aluvial bersulfida memiliki lapisan gambut dengan ketebalan kurang kurang dari 50 cm

4. lahan bersulfat atau lahan sulfat masam aktual

Lahan yang lapisan piritnya sudah teroksidasi. Lahan ini tidak direkomendasikan untuk budi daya.

Dengan mengetahui karakteristik tanah pada hutan rawa, maka teknik dan produktivitas pemanenan di hutan rawa dapat diketahui, yaitu:

I. Sistem pemanenan kayu di hutan rawa tropika Indonesia

A. Pembuatan Jalan Rel

Jalan rel terdiri dari jalan utama dan jalan cabang.

· Jalan utama: dibuat untuk menghubungkan tiap-tiap bagian hutan atau blok rencana karya lima Tahunan (RKL) dan blok Rencana Karya Tahunan (RKT).

· Jalan cabang: berfungsi untuk menghubungkan petak-petak tebangan dengan jalan utama. Umumnya jalan cabang dibuat tidak permanen dan dipindahkan setiap tahun ke petak tebangan RKT baru.

Tahapan pembuatan jalan rel ada 3 tahap, yaitu:

- Perencanaan trase jalan rel di atas peta

- Penandaan rencana trase jalan rel di lapangan

- Pembuatan jalan rel

Jalan rel yang digunakan, dibuat 1 tahun sebelum penebangan (Et-1), dimulai dengan perencanaan trase atas peta berskala 1 : 1.000 – 1 : 10.000 dan pemindahan trase ke lapangan. Pemindahan trase jalan ke lapangan dilakukan dengan kompas dimulai dari titi ikat/pasti, membuat rintisan trase dan menandai trase dengan car merah di tengah-tengahtrase. Didapatkan juga informasi bahan baku kayu untuk pembuatan jalan rel. Pembuatan trase meliputi beberapa tahapan kegiatan, yaitu :

1. Membuka trase jalan rel

2. Membuat bantalan dan bujuran

3. Membuat dan memasang perancak dan kaki

4. Memasang bujuran dan bantalan

5. Pemasangan rel besi

B. Penebangan kayu di Hutan Rawa

Penebangan dihutan rawa Indonesia dilakukan dengan peralatan chainsaw dengan panjang bar 60 –70 cm. Batas diameter pohon yang dapatditebang ≥ 50 cm, 1 chainsaw dioperasikan oleh 1 orang operator dan 1 orang helper (pembantu), yang bekerja selama 6-7 jam per hari dengan produktivitas rata-rata 12-18 m3/jam. Peralatan penebangan yang digunakan dibedakan menjadi dua yaitu :

a) Peralatan non mekanis.

- Gergaji tangan untuk 2 orang.

- Kapak

- Baji

- Kikir

b) Gergaji rantai

digunakan untuk membuat takik rebah dan takik balas, dan untuk memotong bagian-bagian kayu lainnya.

c) Feller (penebang), Alat ini adalah alat penebang modern, yaitu berupa traktor yang dilengkapi dengan peralatan pemotongan kayu yang mekanis, dan biasanya hanya digunakan untuk menebang pohon.

d) Harvester, Alat sama dengan feller, tetapi alat dirancang untuk menebang, membersihkan cabang dan membagi batang secara otomatis.

e) Feller Bunchers, Sama dengan feller, tetapi berfungsi juga mengumpulkan kayu yang rebah ketempat pengumpulan

f) Clipping dan Shearing Tools, Alat pemotong dari alat tebang ini berupa pisau atau gunting. Kegunaan alat ini terutama untuk memotong pohon dalam rangka membuat jalan strip.

C. Penyaradan dengan Sistem Kuda-kuda

Sistem kuda-kuda merupakan penyaradan dengan penarikan kayu bulat yang menggunakan tenaga manusia. Kayu bulat diletakkan di atas alat yang terbuat dari kayu yang disebut kuda-kuda, disebut penyaradan dengan sistem kuda-kuda.

Umumnya menggunakan short-wood system dan kadang-kadang long-wood system. Kegiatan penyaradan di hutan rawa terdiri dari 3 tahap :

· Membuat betau sebagai tempat pengumpulan kayu (TPn)

· Membuat jalan sarad

· Menyarad kayu, menarik kayu dari petak tebang ke betau

a) Pembuatan betau

Membersihkan areal dekat jalan rel luas 25 x 50 m2. Betau berukuran 15 m x 3,5 m, terdiri dari : susunan kayu bulat 15 – 20 cm disusun melintang dan membujur, menyerupai tangga. Jumlah betau 1 petak tebang ( 100 ha) = 8 = 12 buah, tergantung potensi kayu.

b) Pembuatan jalan sarad

Dari betau menuju ke tunggak. Jalan sarad = jalan ongkak/jalan kuda-kuda. Jalan sarad dibuat dari kayu bulat kecil 5-20 cm yang terdiri dari jari-jari ( 5-10 cm, pj. 1,5 m) dan bujuran ( 10 – 20 cm, pj. 3-6 m). Peralatan penyaradan : kuda-kuda, kampak, tali plastik, pengungkit/penahan dan locak/kait.

Ø Siklus penyaradan dengan sistem kuda-kuda :

· Berjalan ke tempat kayu yang akan disarad.

Regu penyarada berjalan menuju ke kayu yang akan disarad sambil menarik kuda-kuda, dilakukan oleh dua orang.

· Memuat.

Memuat adalah elemen kerja menaikkan kayu bulat ke atas kuda-kuda, kayu bulat tersebut diikat dengan tali plastik pada bagian tengah-tengah kuda-kuda dan pemasangan paku pada ujung bagian belakang kayu yang akan disarad sebagai tempat mengaitkan tali plastik yang berfungsi untuk menarik kayu. Pemuatan dilakukan oleh regui saraad yang berjumlah 6 – 10 orang.

· Menyarad.

Menyarad adalah kegiatan menarik kayu bulat di atas kuda-kuda dari tunggak sampai betau melalui jalan sarad. Agar penyaradan dapat berjalan denghanlancar, pada jalan sarad diberi sabun dan oli. Penyaradan dilakukan oleh satu regu sarad yang terdiri dari 6 – 10 orang. Jarak penyaradan berkisar 50 – 300 m.

· Membongkar.

Setelah kayu yang disarad sampai di betau, paku dan ikatan kayu pada kuda-kuda dilepas, lalu memasang ender-ender/landasan antar kuda-kuda dan betau,mendorong kayu dengan locak ke atas betau.

· Menyusun/menumpuk kayu di betau.

Penyusunan dan pengaturan posisi kayu di atas betau dilakukan dengan alat locak dan didorong oleh 1 regu yag berjumlah 8 orang. Kayu disusun rapi agar memudahkan pengukuran dan penomoran serta pemuatan kayu ke atas lori untuk pengangkutan jarak jauh dengan lokotraksi. Kayu yang telah tersusun rapi di betau, dikuliti. Pengulitan kulit kayu menggunakan linggis.

Keunggulan sistem kuda-kuda :

a. Padat karya, banyak memakai tenaga kerja

b. Biaya relatif murah jika dibandingkan dengan cara penyaradan lainnya.

c. Investasi awal rendah

d. Sederhana dan tidak banyak memerlukan tenaga terampil

e. Tidak peka terhadap perubahan cuaca

f. Pengawasan minimal

Kelemahan-kelemahan sistem kuda-kuda :

a. Tenaga kerja yang mau bekerja di hutan rawa sulit diperoleh dan perlu didatangkan khusus dari daerah tertentu, misalnya Kalimantan Barat

b. Produktivitas penyaradan rendah karena dilakukan secara manual

c. Produktivitas tidak teratur karena dipengaruhi oleh kecenderungan pekerja yang suka berpindah-pindah

d. Banyak pohon-pohon kecil yang terpaksa ditebang untuk membuat jalan sarad

D. Pengangkutan Kayu dengan Lokotraksi

Pengangkutan kayu ke luar hutan rawa menggunakan lokotraksi yang berjalan di atas rel. Alternatif lain (lewat jalan tanah dengan truk, lewat aliran air dengan rakit dll.) tidak memungkinkan, mengingat pembuatan jalan tanajh dan saluran air di hutan rawa sangat mahal. Keuntungan adalah :

a) Kapasitas angkutan relatif besar

b) Pengangkutan kayu relatif teratur

c) Tidak terganggu musim dan cuaca

d) Biaya angkutan relatif murah

e) Biaya pemeliharan jalan relatif rendah

Kelemahannya adalah :

a) Tanjakan masimum 3 %

b) Memerlukan volume besar tiap rit secara berkesinambungan untuk membuatnya Ekonomis

c) Sarana dn prasarana PWH-nya tidak bisa digunakan oleh umum

d) Investasi untuk jalan rel cukup tinggi.

Rangkaian lori yang didorong/ditarik dapat sampai 15 lori dengan muatan 40 m3. Lokotraksi dan rangkaiannya dilayani 1 tim yang terdiri dari 6-7 orang dan 1 orang menjadi operator lokotraksi. Tahapan kegiatan pengangkutan kayu dengan lokotraksi :

  1. Perjalanan kosong menuju betau, tahapan :

· Persiapan sebelum menuju betau : periksa mesin lokotraksi, isi bahan bakar dan pelumas, ambil pasir, mengumpulkan peralatan

· Berjalan kosong menuju betau

· Mengatur posisi lori di depan betau

  1. Pemuatan kayu, tahapan :

a. Memasang landasan (ender-ender)

b. Membuka ganjal penahan (jika ada) di atas betau

c. Memasang 2 buah pancang yang terbuat dari kayu bulat kecil

d. Mendorong kayu di atas betau ke atas lori

e. Mengatur posisi kayu di atas lori dan memasang ganjal

f. Mengikat kayu yang telah dimuat di atas lori

g. Selama pemuatan mesin loko tetap dalam keadaan hidup

  1. Perjalanan bermuatan, tahapan :

a) Persiapan : ambil air untuk membasahai roda lori agar gesekan roda lori dengan rel menjadi kecil, mengemasi perlengkapan, memeriksa ulang posisi kayu di atas lori

b) Berjalan bermuatan, selama di perjalan yang dilakukan adalah memberi pasir pada jalan rel, menaikkan lori jika keluar dari jalan rel (jatuh), mengatur posisi lori di TPK sebelum dibongkar.

  1. Membongkar muatan

Dimulai membuka tali pengikat dan melepas kayu pengganjal, mendorong kayu dengan menggunakan locak dan pengungkit ke TPK. Selama pembongkaran mesin loko tetap hidup.

II. Produktivitas Hutan Rawa

Produktivitas sebagai perbandingan atau rasio antara output dengan input. Produktivitas pemanenan di hutan rawa berkaitan dengan produktivias kerja (produktivitas tenaga kerja) dan produktivitas hasil pemanenan.

Produktivitas sistem pemanenan yang dinyatakan dalam m3/hari kerja, bergantung pada kondisi teknis pemanenan dan pengangkutan, aplikasi teknologi, derajat mekanisasi, ketrampilan dan motivasi pekerja, organisasi, manajemen dan keselamatan. Produktivitas sistem pemanenan juga dipengaruhi oleh kemampuan mekanis dan operasional peralatan.

Banyak istilah produktivitas, tetapi yang paling sesuai untuk produktivitas adalah produktivitas tenaga kerja karena tenaga kerja memerlukan pengorbanan (biaya) terbesar dalam suatu proses produksi barang dan jasa. Produktivitas tenaga kerja dalam pemanenan merupakan input yang digunakan untuk memperoleh hasil pemanenan.

Tingkat produktivitas kerja dipengaruhi oleh keterampilan dan kekompakkan dari regu. Sebagai contoh pada saat pemberian aba-aba ada yang belum siap, serta ada anggota penyarad yang sudah tua. Keadaan cuaca pada saat melakukan penyaradan juga mempengaruhi kegiatan penyaradan, bila saat penyaradan terjadi hujan maka jalan akan menjadi licin, sehingga gesekan antara alat kuda-kuda dengan landasan jalan sarad (jari-jari) besar. Kegiatan dari para pekerja inilah yang akhirnya menentukan produktivitas hasil pemanenan.

Selain produktivitas tenaga kerja, peralatan yang digunakan menentukan produktivitas pemanenan. Banyaknya hasil pemanenan tergantung pada sistem pemanenan yang digunakan. Sistem pemanenan yang baik akan menentukan hasil yang maksimal. Namun, pada hutan rawa belum terdapat sistem pemanenan yang baku (yang diakui). Salah satu contoh produktivitas pemanenan pada hutan rawa adalah pengelolaan pada hutan rawa gambut dengan tanaman pokok ramin.

Faktor-faktor penting penyebab belum tercapainya pengelolaan hutan rawa gambut khususnya ramin secara berkelanjutan dapat dibedakan menjadi dua yaitu faktor eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal antara lain tingginya permintaan terhadap ramin yang menyebabkan tingginya intensitas penebangan di luar kemampuan pemulihannya. Hal ini diperparah oleh lemahnya pengawasan dan penegakan hukum yang menyebabkan maraknya kegiatan penebangan liar, penyelundupan kayu ramin dan lemahnya kepastian kawasan sehingga meningkatnya laju konversi hutan rawa gambut untuk pembangunan hutan tanaman industri dan perkebunan kelapa sawit. Laju degradasi dan deforestasi hutan rawa gambut diperparah dengan adanya bencana alam akibat terganggunya keseimbangan lingkungan hutan rawa gambut berupa kekeringan dan kebakaran hutan dan lahan.

Faktor internal belum tercapainya pengelolaan hutan rawa gambut khususnya ramin secara berkelanjutan terletak pada tiga pilar utama yaitu:

Ø Lemahnya control pemerintah sebagai pemegang otoritas pengelolaan hutan

Ø Komitmen pemegang ijin pemanfaatan hutan/hasil hutan

Ø Efektivitas regulasi yang digunakan dalam pengelolaan hutan rawa gambut secara berkelanjutan.

Regulasi yang dimaksud dalam kaitannya dengan pengelolaan hutan rawa gambut secara berkelanjutan adalah belum adanya sistem silvikultur khusus untuk hutan rawa gambut. Soerianegara et al. (1995) dan Istomo (2009) menyatakan bahwa beberapa kelemahan yang muncul dan permasalahan pengelolaan hutan rawa gambut adalah:

a. Belum adanya sistem silvikultur yang baku untuk hutan rawa gambut yang mempunyai ekosistem yang khas lahan basah.

b. Tidak adanya konsistensi tentang pengaturan hasil (batas diameter tebangan, intensitas tebangan, rotasi dan pohon inti). Hal ini dikarenakan penentuan batas diameter tebangan, rotasi tebang, tersebut tidak didasarkan pada hasil penelitian riap dan dinamika tegakan.

c. Mengingat ekosistem yang khas, tanah gambut yang jenuh air, maka ketentuan tentang teknik penanaman perkayaan dan pemeliharaan tegakan tinggal tidak bisa disamakan dengan hutan tanah kering. Hal ini sering menjadi alasan pemegang IUPHHK untuk tidak melakukan penanaman areal bekas tebangan.

KESIMPULAN

Hutan rawa merupakan lahan yang selalu tergenang air akibat drainase terhambat, tidak terpengaruh iklim, dan memiliki jenis tanah alluvial. Sistem silvikultur pada hutan rawa belum ada yang baku, tetapi pada umumnya menggunakan sistem tebang pilih dimana hanya menebang pohon komersil dengan batas diameter tertentu dan meninggalkan pohon inti untuk rotasi tebang berikutnya. Tahapan pada sistem pemanenan kayu di hutan rawa tropika Indonesia adalah pembuatan jalan rel, penebangan kayu di hutan rawa, penyaradan dengan sistem kuda-kuda (menggunakan tenaga manusia), dan pengangkutan kayu dengan lokotraksi. Pemanenan dengan sistem manual ini memiliki kelebihan yaitu padat karya, relatif murah, sederhana, tidak memerlukan tenaga terampil. Namun, sistem manual ini juga memiliki kelemahan yaitu produksi rendah dan tidak teratur akibat kecenderungan pekerja yang suka berpindah, serta sulitnya mencari pekerja yang mau bekerja di hutan rawa.

Produktivitas pemanenan dipengaruhi oleh produktivitas kerja, diman produktivitas kerja ini dipengaruhi oleh keterampilan dan kekompakan regu pekerja. Selain itu, produktivitas pemanenan juga dipengaruhi oleh cuaca, peralatan yang digunakan, dan sistem pemanenan yang digunakan. Saat ini, produktivitas pemanenan hutan rawa masih terbatas karena belum adanya sistem pengolahan dan pemanenan yang baku, serta masih banyak kendala yang dihadapi dalam proses pemanenan di hutan rawa seperti lahan yang jenuh air dan cuaca yang tidak menentu.

DAFTAR PUSTAKA

Conwey, S. 1978. Timber Cutting practices. San Fransisco: Miller Freeman, Inc.

Elias . 1988. Pembukaan Wilayah Hutan. Bogor: Fakultas Kehutanan.

FAO. 1974. Logging and Log Transport in Tropical High Forest. Roma: A Manual on Produktion and Cost. Food and Agriculture Organization.

Julius Z. Sigiro. 2010. Perencanaan Pembuatan Jalan Sarad. http://juliusblogs.blogspot. com/perencanaan-pembuatan-jalan-sarad/150910... [1 Januari 2010]

Marwa Prinando. 2010. Aspek-Aspek Kegiatan Dalam Pemanenan Hutan. http://marwa89.blogspot.com/aspek-aspek-kegiatan-dalam-pemanenan-hutan/020810.. [1 Januari 2011]

Suparto, R. S. 1879. Eksploitasi Hutan Moderen. Bogor: Proyek Peningkatan Penggembangan Perguruan Tinggi. IPB.